Pabrik Bunyi

Personal music. Critical essays.

TBM@MAL

TBM@MAL

Kelik M. Nugroho, WARTAWAN TEMPO

Sumber: Rubrik Ide, Koran Tempo, 2 Mei 2010.

Sekitar 12 taman bacaan masyarakat kini hadir di sejumlah pusat belanja di Jakarta, Serang, dan Bandung. Di tempat ini, masyarakat bisa duduk di kursi-kursi nyaman sembari membaca buku secara gratis. Atau juga sembari menyeruput minuman kopi–yang dipesan dari kafe sebelah. Suasana taman bacaan mirip kafe, atau toko buku, atau tempat bermain anak (kid corners).

TBM@MAL, yang dibangun Kementerian Pendidikan Nasional, adalah sebuah konsep tempat dan kegiatan untuk mensosialisasi kegemaran membaca buku, yang disesuaikan dengan psikologi pengunjung pusat belanja, khususnya mal. TBM adalah taman bacaan masyarakat mirip perpustakaan, tapi memiliki konsep lebih, yaitu mendatangkan suasana rekreatif.

TBM@MAL sebetulnya tak memiliki konsep jadi. Dalam tataran konsep, TBM@MAL memperoleh penafsiran dari beberapa pendukungnya. Ada yang menafsirkan bahwa TBM@MAL haruslah menghadirkan suasana fun(senang), berdesain interior funky, serta menyediakan buku-buku instan dan bergambar. Lalu ada yang mengusulkan agar TBM@MAL memberikan fasilitas bermain untuk anak (kids corner), panggung ekspresi, dan lain-lain. Dalam penerapannya di lapangan, dipastikan bentuknya menjadi variatif.

Sebagai sebuah ide, TBM@MAL unik dan baru. Di luar negeri, banyak mal dilengkapi dengan perpustakaan. Di Filipina, toko-toko buku di mal menyediakan tempat duduk, juga kafe, bagi pengunjung untuk membaca buku–kalau tak malu–secara gratis. Di Singapura, ada mal yang menyediakan perpustakaan cukup besar dan keren. Di Indonesia? Sekarang inilah dibangun taman bacaan masyarakat, suatu ruang baca buku yang bukan sekadar perpustakaan.

Kebutuhan akan sarana pendidikan ini memperoleh pembenarannya melalui hasil penelitian untuk skripsi karya Inca Agustina yang berjudul “Gambaran Gaya Hidup Remaja yang Memiliki Keterlibatan Tinggi terhadap Shopping Mall” (Penerbit: Unika Atma Jaya, tahun 2005), yang menunjukkan fakta-fakta sebagai berikut. Bahwa remaja didapati menjadi pengunjung mal terbesar dibandingkan dengan kelompok usia lain, karena remaja memiliki waktu luang lebih banyak. Bahwa bagi remaja, mal menjadi sarana rekreasi di mana mereka dapat memenuhi kebutuhan dengan bersosialisasi dengan teman, menikmati fasilitas hiburan, atau hanya melihat-lihat pemandangan dalam mal tersebut. Bahwa walaupun mal memberi banyak pengaruh positif terhadap remaja, sering kali terdapat pandangan negatif bahwa remaja yang sering berkunjung ke mal adalah remaja yang kurang peduli sosial, hanya mempedulikan penampilan fisik, dan konsumtif.

Dari hasil penelitian ini, didapati tiga tipe gaya hidup, yakni “self-centered”, “super-active”, dan “passive”, dengan subyek terbanyak berada pada tipe gaya hidup “Super-Active” (63,2 persen). Kesimpulan dari penelitian ini, sebagian besar remaja yang memiliki keterlibatan tinggi terhadap mal juga memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia sekitarnya dan memiliki keinginan untuk berprestasi. Karena itu, para praktisi pemasaran mal yang target konsumennya adalah remaja harus menyediakan sarana dan fasilitas yang bersifat mendidik dan merangsang kreativitas agar mal tidak hanya berfungsi sebagai sarana rekreasi dan hiburan, namun juga menjadi sarana pendidikan.

Mal tampaknya bagian dari perkembangan kebutuhan masyarakat pascamodern yang niscaya. Ia mengalir, dan merangsek dalam kehidupan kita seperti kehadiran telepon genggam dan Internet di rumah kita. Kita tak bisa melawannya secara frontal. Yang bisa kita lakukan adalah menghindari dampak negatif dari poros-poros yang mempengaruhi peradaban kita di masa depan.

Pemikir dan filsuf media Jean Baudrillard sudah lama membaca gejala sosiologi baru masyarakat konsumen ini melalui buku-bukunya. Teorinya untuk membaca sosiologi baru ini adalah teori hiperrealitas. Untuk menjelaskannya, saya akan mengutipkan saja pengertian hiperrealitas seperti ditulis Madan Sarup dalam buku Pos-strukturalisme dan Pos-modernisme, Sebuah Pengantar Kritis (Penerbit Jendela, 2003). Hiperrealitas adalah kondisi baru ketika ketegangan lama antara realitas dan ilusi, antara realitas sebagaimana adanya dan realitas sebagaimana seharusnya, hilang. Di masyarakat media dan konsumsi, orang terjebak dalam permainan citra, simulacra, yang semakin tidak berhubungan dengan yang di luar, “realitas” eksternal. Pada kenyataannya, kita hidup di dunia simulacra, di mana citra atau penanda suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman dan pengetahuan langsung sebagai rujukan.

Mal tentu saja bagian dari arus ini. Sebuah frasa menarik tentang mal perlu dikutipkan di sini, yang sayang saya lupa sumbernya. Bahwa mal-mal yang berpenampilan menarik, dengan desain dan cat yang mencolok, menghidupkan kota bagai cahaya yang mampu menarik laron-laron terbang mengelilingi lampu yang bersedia jatuh dalam baskom berisi air sebagai perangkap untuk meniadakan mereka. Mal yang dapat menumbuhkan ideologi individualisme akan konsumsi memang bisa menjebak manusia pada nihilisme sebagai elemen kebenaran. Nah, di sinilah urgensi kehadiran TBM@MAL: sebagai filter terhadap konsumerisme. *

Mei 28, 2010 Posted by | Essay | , | 3 Komentar